Terdepan dan Terpercaya

Jumat, 16 Desember 2016

akad pola sewa (ijarah)



MAKALAH
AKAD POLA SEWA (IJARAH)
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah
Dosen Pengampu : Farida Rohmah, S.Pd., M.Sc.



Disusun oleh
1.      Muhammad Ahsin Qomaruddin               (1420210366)
2.      David Fitrio                                              (1420210367)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bank pada hakekatnya adalah lembaga intermediasi yang menjadi perantara antara para penabung dan investor. Tabungan hanya akan berguna apabila diinvestasikan, sedangkan para penabung tidak dapat diharapkan untuk sanggup melakukannya sendiri dengan terampil dan sukses, maka tidak diragukan lagi bahwa bank dapat melakukan fungsi yang berguna bagi masyarakat dengan munculnya berbagai kegiatan usaha baru dan pengembangan kegiatan usaha yang telah ada, maka akan terbuka luas lapangan kerja baru yang akan mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Secara teoritis, keunggulan perbankan syari’ah terletak pada sistim yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil (profit and lost sharing) dan berbagi resiko (risk sharing). Sistem ini di yakini oleh para Ulama sebagai jalan keluar untuk menghindari penerimaan dan pembayaran bunga (riba). Pandangan islam bunga adalah riba, dan riba dalam agama islam jelas-jelas dilarang
Di dalam Mua’amalah agama islam mengenak akad Ijarah (sewa-menyewa). Akad sewa dilaksanakan pada bank dan lembaga keuangan syari’ah pada proses pembiayaan atau penyaluran dana.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian, Dasar Hukum, Syarat, dan Rukun Al-Ijarah ?
2.      Bagaimana Penerapan Akad Pola Sewa (Al-Ijarah) dalam Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah ?
3.      Apa Perbedaan Ijarah dengan Leasing ?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, dan rukun al-ijarah
2.      Untuk mengetahui penerapan akad pola sewa (al-ijarah) dalam bank dan lembaga keuangan syari’ah
3.      Untuk mengetahui perbedaan ijarah dengan leasing


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian, Dasar Hukum, Syarat, dan Rukun Al-Ijarah
1.   Pengertian dan Dasar Hukum Al-Ijarah
Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-‘iwad (penggantian), dari sebab itulah ats-tsawabu dalam konteks pahala dinamai juga al-ajru (upah).
Adapun secara terminologi, para ulama fiqih berbeda pendapat antara lain :
1.    Menurut sayyid tsabiq al-ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi untuk mengambil manfaat dengan jalan memberi penggantian.
2.    Menururt ulama syafi’iyyah al-ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersiafat mubah dan boleh dimanfaatkan, dengan cara imbalan tertentu.
3.    Menurut amir syarifuddin al-ijarah secara sederhana dapat diartikan dengan akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut al-ijarah al’ain, seperti sewa-menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi manfaat atau jasa dari tenaga seseorang disebut al-ijarah ad-dzimah atau upah mengupah, seperti upah upah mengetik skripsi. Sekalipun objeknya berbeda keduanya dalam konteks fiqih disebut al-ijarah.
Al-al-al-ijarah dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mnegupah merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam islam. Hukum asalnya menurut jumhur ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapka oleh syara’ berdasarkan ayat al-qur’an, hadits-hadits nabi, dan ketetapan ijma’ ulama.[1]
Landasan hukum dari ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ  ﴿233﴾
Artinya : “ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah[2]: 233)
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini, termasuk didalamnya jasa penyewaan atau leasing.
Landasan hukum dari hadits
“Diriwayatkan dari ibnu abbas bahwa Rasulullah SAW. Bersabda “berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada oleh tukang bekam itu.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
“Dari ibnu umar bahwa rasulullah bersabda “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (H.R. Ibnu Majah).[2]
Para ulama telah berkonsensus (Ijma’) bahwa akad ijarah adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama yang mengingkarinya. Dengan demikian tidak ada alasan untuk melarang akad ijarah.[3]
2.   Rukun dan Syarat-syarat Al-Ijarah
Menurut mazhab hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama rukun ijarah ada empat yaitu :
a.    Dua orang yang berakad
b.    Sighat ( ijab dan qabul)
c.    Sewa atau imbalan
d.   Manfaat.
Adapun syarat-syarat ijarah adalah sebagai berikut  :
a.    Yang terkait dengan dua orang yang berakad,. Menurut ulama syafi’iyah dan hanabalah disyaratkan telah baligh dan akal, seperti anak kecil dan orang gila ijarahnya tidak sah. Akan tetapi, ulama hanafiyah dan malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad tidak harus berusia balik. Oleh karenanya, anak yang baru mumayis pun boleh melakukan akad ijarah, hanya pengesahannya perlu persetujuan walinya.
b.    Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad ijarah. Apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad ini, maka akad ijarahnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat An-Nisa’ ayat 29 yang artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sesali memakan harta kamu dengan cara yang batil kecuali melalui sesuatu perniagaan yang berlaku suka sama suka.” (Q.S. An-Nisa’ : 29)
c.    Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari. Apabila manfaat yang menjadi objek tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelsasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya dan penjelasan berapa lam manfaat itu ditangan penyewanya.
d.   Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu, para ulam fiqih sepakat bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Misalnya, srsorang menyewa rumah, maka rumah itu dapat langsung diambil kuncinya dan dapat langsung boleh ia manfaatkan.
e.    Objek ijarah itu ssuatu yang di halalkan oleh syara’. Oleh sebab itu, para ulama fiqih sepakat mengatakan tidak boleh menyewa sesorang untuk menyantet orang lain, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain, demikian juga tidak boleh menyewakan rumah untuk dijadikan tempet-tempet maksiat.
f.     Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa, misalnya menyewa orang untuk melaksanakn sholat atau menyewa orang yang belum haji untuk menggantikan haji penyewa. Para ulama fiiqh sepakat mengatakan bahwa akad sewa menyewa seperti ini tidak sah, karena sholat dan haji merupakan kewajiban penyewa itu sendiri.
g.    Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan seperti rumah, kendaran, dan alat-alat perkantoran. Oleh sebab itu tidak boleh dilakukan akad sewa menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai sarana penjemur pakaina. Karena pada dasarnya akad untuk sebatang pohon bukan untuk dimaksudkan seperti itu.
h.    Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi.[4]
Adapun hak dan kewajiban kedua-belah pihak dalam akad ijarah adalah sebagai berikut:
a.     Bagi yang menyewakan wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat digunakan secara optimal oleh penyewa. Misalnya, mobil yang disewakan ternyata tidak dapat digunakan karena akinya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya bila penyewa tidak dapat tidak dapat memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan untuk membatalkan akad atau menerima manfaat yang rusak. Sebagian ulama’ berpendapat, apabila penyewa tidak membatalkan akad, harga sewa harus dibayar penuh. Sebagian ulama’ lain berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
b.    Penyewa wajib menggunakan barang yang disewakan menurut syarat-syarat akad atau menurut kelaziman penggunaannya. Penyewa wajib menjaga barang yang disewakan agar tetap utuh. Secara prinsip tidak boleh dinyatakan dalam akad bahwa penyewa bertanggung jawab atas jumlah yang tidak pasti (gharar). Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa bila penyewa diminta untuk melakukan perawatan, ia berhak untuk mendapatkan upah dan biaya yang wajar untuk pekerjaannya itu. Bila penyewa melakukan melakukan atas kehendaknya sendiri, hal ini dianggap sebagai hadiah dari penyewa dan ia tidak dapat meminta pembayaran apapun.[5]


                     
B.     Penerapan Akad Pola Sewa (Al-ijarah) dalam Bank dan Lembaga Keuangan Syariah
Transaksi nonbagi hasil selain yang berpola jual beli adalah transaksi berpola sewa atau ijarah. Ijarah, biasa juga disebut sewa, jasa, atau imbalan, adalah akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa. Ijarah adalah istilah dalam Fikih Islam dan berarti memberikan sesuatu untuk disewakan. Menurut Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Jadi, hakekatnya ijarah adalah penjualan manfaat.[6]
Hak dan kewajiban bagi kedua-belah pihak yakni, bagi yang menyewakan wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat digunakan secara optimal oleh penyewa. Misalnya, mobil yang disewakan ternyata tidak dapat digunakan karena akinya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya bila penyewa tidak dapat tidak dapat memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan untuk membatalkan akad atau menerima manfaat yang rusak. Sebagian ulama’ berpendapat, apabila penyewa tidak membatalkan akad, harga sewa harus dibayar penuh. Sebagian ulama’ lain berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
Penyewa wajib menggunakan barang yang disewakan menurut syarat-syarat akad atau menurut kelaziman penggunaannya. Penyewa wajib menjaga barang yang disewakan agar tetap utuh. Secara prinsip tidak boleh dinyatakan dalam akad bahwa penyewa bertanggung jawab atas jumlah yang tidak pasti (gharar). Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa bila penyewa diminta untuk melakukan perawatan, ia berhak untuk mendapatkan upah dan biaya yang wajar untuk pekerjaannya itu. Bila penyewa melakukan melakukan atas kehendaknya sendiri, hal ini dianggap sebagai hadiah dari penyewa dan ia tidak dapat meminta pembayaran apapun.[7]
Implementasi akad ijarah pada saat ini telah berkembang dengan sangat pesat. Secara ringkas jenis akad Ijarah yang sedang berjalan antara lain tampak pada skema berikut:
Berdasarkan skema yang tampak pada gambar di atas, jenis Ijarah dapat dibagi berdasarkan sudut pandang yang digunakan. Berdasarkan jenis objek Ijarah, maka Ijarah dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Ijarah Fee, yaitu; akad ijarah yang menjadikan jasa sebagai objek manfaat yang disewakan. Pendapatan yang diperoleh berupa fee atas jasa yang telah diberikan oleh pemilik objek kepada penyewa. Sebagai contoh adalah; Penyewaan Safe Deposit Box (SDB) dan jasa pemeliharaan emas.
2.       Ijarah Aset, yaitu; akad Ijarah yang menjadikan asset sebagai objek manfaat yang disewakan. Asset yang dapat disewakan adalah asset berwujud dan asset yang tidak berwujud.
Ijarah asset berwujud menggunakan asset berwujud sebagai objek sewa menyewa. Termasuk kategori ini adalah:
a.       Jual-Ijarah, yaitu kombinasi antara akad penjualan yang dilanjutkan dengan sewa menyewa. Contoh: Tuan A menjual mobil ke Tuan B, dan oleh Tuan B mobil tersebut disewakan kepada Tuan C.
b.      Ijarah biasa, yaitu: akad sewa menyewa tanpa perpindahan kepemilikan (operating lease). Sebagai contoh Tuan A menyewakan rumahnya kepada Tuan B selama setahun dengan fasilitas tertentu dan harga sewa tertentu.
c.       IMBT, yaitu akad sewa menyewa yang disertai dengan akad janji sepihak (wa’ad) untuk kemungkinan dilakukan perpindahan kepemilikan. Dan akad ini yang akan dikembangkan dalam pemberdayaan tanah wakaf menjadiakad al-Ijarah al-Mutanaqishah.
Sedangkan Ijarah asset tidak berwujud adalah akad sewa menyewa dengan mengunakan asset tidak berwujud sebagai objek sewa menyewa. Termasuk dalam kategori ini adalah:
a.    Ijarah berlanjut, yaitu; bentuk akad sewa menyewa dimana suatu entitas menyewakan lebih lanjut kepada pihak lain atas asset yang sebelumnya disewakan pemiliknya. Sebagai contoh; Tuan B menyewa rumah dari Tuan A, lalu Tuan B menyewakan rumah tersebut kepada Tuan C. Dalam literatur fikih, menyewakan kembali barang yang disewa harus atas izin pemilik objek sewa (dalam contoh ini Tuan A).
b.    Multijasa, yaitu: bentuk pengembangan dalam implementasi Ijarah berlanjut, umumnya digunakan dalam transaksi pendidikan, ibadah haji dan pernikahan. Sebagai contoh: Talangan haji adalah Ijarah multijasa dari Ijarah asset tidak berwujud, yang disewakan adalah porsi haji yang dibayar lembaga keuangan dan kemudian disewakan kepada Nasabah calon haji (talangan haji sudah tidak diberlakukan di lembaga keuangan syariah).[8]
1.    Praktik Pembiayaan Ijarah
Secara umum timbulnya ijarah disebabkan oleh adanya kebutuhan      akan barang atau manfaat barang oleh nasabah yang tidak memiliki kemampuan keuangan. Dengan kata lain apabila nasabah memiliki kemampuan keuangan, maka pemenuhan kebutuhan barang atau manfaat barang akan dilakukan langsung oleh nasabah kepada pemilik barang (produsen) tanpa melalui bank syariah. Dengan demikian, praktek ijarah yang terjadi pada aktivitas perbankan syariah, secara teknis merupakan perubahan cara pembayaran sewa dari tunai di muka (bank dengan pemilik barang).
menjadi angsuran (bank dengan nasabah) dan/atau pengunduran periode waktu pembayaran (disesuaikan dengan kemampuan nasabah) atas biaya sewa yang telah dibayarkan di muka (oleh bank). Berdasarkan kompilasi SOP yang disampaikan oleh Bank Syariah, tahapan pelaksanaan ijarah adalah seperti pada tabel 46.
Dari hasil telaahan atas SOP akad ijarah, terdapat beberapa hal yang dapat dicermati lebih jauh.
a.       Di beberapa bank, penggunaan uang muka dilakukan untuk memberikan jaminan bahwa nasabah memang benar akan menyewa barang dimaksud dari bank syariah. Uang muka diperlakukan sebagai pembayaran sewa di muka.
b.      Di beberapa bank, penyediaan dana untuk menyewa barang disetorkan langsung ke rekening nasabah, yang selanjutnya atas nama bank syariah (wakalah), nasabah melakukan penyewaan barang dari pemilik barang.[9]
2.    Ijarah Muntahia Bi Tamlik (IMBT)
IMBT merupakan rangkaian dua akad, yakni akad Ijarah (sewa) dan akad Bay’ (jual beli). IMBT merupakan kombinasi antara sewa-menyewa dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa. Dalam IMBT, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara, yaitu:
a.    Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. Dalam hal ini ada tiga metode dalam menentukan harga jual objek sewa, yaitu:
1)   Harga yang berlaku pada akhir periode, maksudnya ketika akhir periode sewa asset dibeli oleh penyewa dengan harga wajar yang berlaku pada saat itu.
2)   Harga ekuivalen dalam periode sewa, maksudnya penyewa membeli asset dalam periode sewa sebelum kontrak sewa berakhir dengan harga ekuivalen yang disepakati.
3)   Harga yang dibayar secara bertahap selama periode sewa, maksudnya; pengalihan kepemilikan dilakukan secara bertahap dengan dibayar secara angsuran selama periode sewa (Ascarya, 2007: 103).
b.    Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. Artinya, ketika periode sewa sudah selesai, maka asset sebagai objek sewa dihibahkan oleh pemilik asal kepada penyewa dan dalam metode ini pengalihan hak milik tidak terlalu sulit karena ketika akad hibah dilakukan oleh pemilik.[10]
Ijarah Muntahia Bi Tamlik (IMBT) pada dasarnya merupakan perpaduan antara ijarah dengan jual beli. Semakin jelas dan kuat komitmen untuk membeli barang di awal akad, maka hakikat IMBT pada dasarnya lebih bernuansa jual beli. Namun, apabila komitmen untuk membeli barang di awal akad tidak begitu kuat dan jelas (walau pun opsi membeli tetap terbuka), maka hakikat IMBT akan lebih bernuansa ijarah. Dari sisi ijarah, perbedaan IMBT terletak dari adanya opsi untuk membeli barang dimaksud pada akhir periode. Sedangkan dari sisi jual beli, perbedaan IMBT terletak pada adanya penggunaan manfaat barang dimaksud terlebih dahulu melalui akad sewa (ijarah), sebelum transaksi jual beli dilakukan. Berdasarkan kompilasi SOP yang disampaikan oleh Bank Syariah, tahapan pelaksanaan IMBT adalah seperti pada tabel 47. [11]

Manfaat dari transaksi al-ijarah untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok. Adapun risiko yang mungkin terjadi dalam al-ijarah adalah sebagai berikut :
1.    Default, nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja.
2.    Rusak; aset  ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya pemeliharaan bertambah, terutama ketika disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh bank.
3.    Berhenti; nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut. Akibatnya, bank harus menghitung kembali keuntungan dan mengembalikan sebagian kepada nasabah.[12]
C.    Perbedaan dan Persamaan Ijarah dengan leasing
Karena ijarah adalah akad yang mengatur permanfaat hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, maka banyak orang yang menyamakan ijarah ini dengan leasing. Hal ini terjadi karena kedua istilah tersebut sama-sama mengacu pada hal-ihwal sewa-menyewa. Menyamakan  ijarah dengan  leasing tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya bener  pula. Karena pada dasarnya, walaupun terdapat kesamaan antara ijarah dan leasing, tapi ada beberapa karakteristik yang membedakannya. Pada bagian ini, perbedaan dan persamaan antara keduanya.[13]
1.      Objek
Bila dilihat dari segi objeknyang disewakan, leasing hanya berlaku untuk sewa menyewa barang saja. Jadi yang disewakan dalam  leasing terbatas pada manfaat barang jasa. Bila kita ingin mendapatkan manfaat tenaga kerja, kita tidak dapat menggunakan leasing.
Dilain pihak, dalam ijarah objek yang disewakan bisa berupa barang maupun jasa/tenaga kerja. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat barang disebut dengan sewa menyewa, sedangkan bila diterapkan unntuk mendapatkan manfaat tenaga kerja/jasa disebut upah mengupah. Jadi yang disewakan dalam ijarah adalah manfaat barang maupun manfaat tenaga kerja.
2.      Metode Pembayaran
Bila dilihat dari segi metode pembayarannya, leasing hanya memiliki satu metode pembayaran saja, yakni yang bersifat not contingent to performance. Artinya, pembayaran sewa pada leasing tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa.
Dilain pihak, dari segi metode pembayarannya ijarah dapat dibedakan menjaddi dua, yaitu ijarah yang pembayarannya tergantung pada kinerja  objek yang disewa (contingent to performance) dan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja objek yang disewa (not contingent to performance). Ijarah yang pembayarannya teregantung pada kinerja objek yang disewa disebut ijarah gaji dan/atau jasa. Sedangkan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada
kinerja objek yang disewa disebut ju’alah, atau succes fee.[14]
3.      Perpindahan Kepemilikan
Dari aspek perpindahan kepemilikan, dalam bidangh leasing kita kenal ada dua jenis : operating lease dan financial lease, dalam operating lease, tidak terjadi pemindahan kepemilikan aset, baik diawal maupun diakhir periode sewa. Dalam financial lease, di akhir periode sewa si penyewa diberikan pilihan untuk membeli atau tidak membeli barang yang disewa tersebut. Jadi transfer of title masih berupa pilihan, dan dilakukan diakhir periode.
Dilain pihak ijarah sama seperti operating lease, yakni tidak ada transfer of title baik diawal maupun diakhir periode. Namun pada akhir sewa bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah . karena itu dalam bank syari’ah dikenal ijarah muntahiya bittamlik/IMBT. Harga sewa daan harga jual disepakati diawal perjanjian. Pihak yang menyewakan berjanji dia awal perjanjian kepada penyewa, apakah akan menjual barang tersebut atau akan menghibahkannya.[15]
4.      Lease Purchase
Variasi lainnya dari leasing adalah lease purchase (sewa-beli)yakni  kontrak sewa sekaligus beli. Dalam syariah akad  lease purchase ini diharamkan karena adanya  two in one (dua akad sekaligus). Ini akan menyebabkan gharar dalam akad, yakni ada ketidakjelasan akad :apakah yang berlaku akad sewa atau akad beli.
5.      Sale and Lease-Back
Sale and lease back terjadi bila, misalnya A menjual barang ke B, tetapi karena A tetap ingin memiliki barang X tersebut, B menyewakannya kembali ke A dengan kontrak financial lease, sehingga A mempunyai pilihan untuk memiliki barang X tersebut diakhir periode.
Sekarang, misalkan, A menjual barang X seharga Rp 120 juta secara cicilan ke B, dengan syarat bahwa B harus kembali menjual barang X tersebut kepada A secara tunai seharga 100 juta. Transaksi seperti itu haram, karena adanya persyaratan bahwa A bersedia menjual barang X ke B asalkan B kembali menjual barang tersebut kepada A. dalam kasusu tersebut, disyaratkan bahwa akad 1 berlaku efektif bila akad 2 dilakukan. Penerapan syarat ini mencegah terpenuhinya rukun. Dalam  isltilah fiqih, jual-beli seperti ini dinamakan bai al-inah. Pada bai’ al-inah , terjadi ta’alluq. Karena itu transaksi ini haram.[16]





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Al-ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan, dengan cara imbalan tertentu.
Menurut Madzhab Hanafiah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama’ rukun ijarah ada empat yaitu:
a.    Dua orang yang berakad
b.   Sighat (ijab dan qabul)
c.    Sewa atau imbalan
d.   Manfaat
Adapun syarat-syarat ijarah adalah sebagai berikut:
a.   Telah baligh dan akil dua orang yang berakad
b.   Kedua belah pihak menyatakan kerelaannya melakukan akad ijarah
c.   Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui
d.  Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya
e.   Obyek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
f.    Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
g.   Obyek ijarah itu merupakan sesuatu yang bisa disewakan
h.   Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas
2.      Lihat skema dibawah ini

3.      Lihat tabel dibawah ini

                                                        DAFTAR PUSTAKA          

Abdul Rahman Ghazali Dkk. 2010. Fiqh Mua’amalat. Jakarta: Prenada  Media Group.
Al- Sarakhsyi. T.th.  Al-Mabsuth. Juz 12. Kairo: Maktabah Al- Turats.
Antonio, M. Syafi’i. 2009. Bank Syari’ah: dari Teori ke PraktikI. Jakarta: Gema Insani.
Ascarya. 2006. Akad dan Produk Bank syari’ah: Konsep dan Prakteknya di Beberapa Negara. Jakarta: Bank Indonesia.
Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ridwan, M. 2015. Al-Ijarah Al-Mutanaqisah: Akad Alternative Untuk Pemberdayaan Tanah Wakaf. Jurnal Equilibrium. Vol. 3. No. 1.


[1] Abdul Rahman Ghazaly. dkk, Fiqh Mu’amalat, Jakarta, Prenada Media Group, 2010, hlm. 277
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani, 2009, Hlm. 117-118
[3] Al-Sarakhsyi, Al-Mabsuth, Juz 12, Kairo, Maktabah At-Turas, t,th, hlm. 138
[4] Abdul Rahman Ghazaly. dkk. Op.Cit, hlm. 278-280
[5] Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.128-129
[6] Ascarya, Akad dan Produk bank Syari’ah: Konsep dan Prakteknya di Beberapa Negara, Bank Indonesia, Jakaerta, 2006, hlm. 100
[7] Adiwarman Karim, Op.Cit, hlm. 128-129
[8] Murtadho Ridwan, Al-Ijarah Al-Mutanaqishah: Akad Alternative Untuk Pemberdayaan Wakaf, Jurnal Equilibrium, Vol. 3, No. 1, Juni 2015, hlm. 149-151
[9] Ascarya, Op.Cit, hlm. 221-222
[10] Murtadho Ridwan, Op.Cit, hlm. 151-152
[11] Ascarya, Op.Cit, hlm. 222-223
[12] Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, hlm. 118
[13] Adiwarman Karim, Op.Cit, hlm. 130
[14] Ibid, hlm. 131-132
[15] Ibid, hlm. 133
[16] Ibid, hlm. 134-135

0 komentar:

Posting Komentar