HYBRID CONTRACT
A.
Pendahuluan
Di era transkasi
keuangan modern yang semakin kompleks, dibutuhkan design kontrak akad dalam
bentuk kombinasi beberapa akad yang disebut dengan hibryd contract (multiakad),
atau biasa disebut al-ukud al-murakkabah. Bentuk akad tunggal
sudah tidak mampu meresponi transaksi keuangan kontemporer.
Dr. Mabid al-Jarhi, mantan
direktur IDB pernah mengatakan, kombinasi akad di zaman sekarang adalah sebuah
keniscayaan. Cuma masalahnya, literatur ekonomi syariah yang ada di
Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan dua
akad dalam satu transaksi akad (two in one). Padahal, larangan two
in one terbatas dalam tiga kasus saja sesuai dengan sabda-sabda Nabi
Muhammad Saw yang terkait dengan itu. Two in one tidak boleh
diperluas kepada masalah lain yang tidak relevan dan tidak pas konteksnya. Para
dosen, ahli ekonomi syariah, dan bankir syariah harus mempelajari secara
mendalam pandangan ulama tentang akad two in one dan al-‘ukud
al-murakkabah, agar pemahaman terhadap design kontrak syariah lebih
komprehensif, dinamis dan tidak kaku. Kekakuan itu bisa terjadi karena
kedangkalan metodologis syariah dan kelangkaan litaratur. Buku-buku fiqh
muamalah kontemporer yang membahas permasalahan hybrid contract (kombinasi
akad) antara lain, Al-‘Ukud al-Murakkabah fi Fiqh al-Islami, karya,
Nazih Hammad, Damaskus 2005), juga buku al-‘Ukud al-Maliyah
al-Murakkabah oleh al-‘Imrani.
Cuma masalahnya, literatur ekonomi syariah yang ada di Indonesia sudah lama
mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan dua akad dalam satu
transaksi (two in one). Artinya, kontrak yang mengandung two
in one terlarang dalam syariah. Larangan tersebut digenerasilisasi
untuk seluruh kontrak, sehingga setiap kontrak yang mengandung dua akad
atau lebih dipandang bertentangan dengan syariah. Di sinilah diperlukan ‘ulumul
hadits dan ilmu mushtalahul hadits. Sejumlah kitab syarah
hadits juga harus dirujuk. Menurut studi yang komprehensif terhadap tiga buah
hadits yang melarang two in one, dapat disimpulkan bahwa
syariah hanya membatasi larangan itu untuk beberapa kasus saja dan
membolehkannya dalam ruang lingkup yang sangat luas.
Jadi, selama ini, larangan ini ditafsirkan secara dangkal dan salah,
sehingga menyempitkan pengembangan kegiatan transaksi dan pengembangan produk
bank dan keuangan syariah. Terjadilah pelarangan terhadap sesuatu yang
sesungguhnya tidak dilarang.
Para dosen, ahli ekonomi syariah, bankir syariah dan konsultan harus
mempelajari secara mendalam pandangan ulama tentang akad two in one dan
al-ukud al-murakkabah, agar pemahaman terhadap design kontrak syariah,
bisa lebih komprehensif, dinamis dan tidak kaku. Kekakuan itu bisa terjadi
karena kedangkalan metodologis syariah dan kelangkaan litaratur yang sampai
kepada kita.
Memang ada tiga buah
hadits Nabi Saw yang menunjukkan larangan penggunaan hybrid contract.
Ketiga hadits itu berisi tiga larangan, pertama larangan bai’ dan salaf, kedua, larangan bai’ataini fi bai’atin, dan ketiga larangan shafqataini
fi shafqatin. Ketiga hadits itulah yang selalu dijadikan rujukan
para ahli, konsultan dan banker syariah tentang larangan akad two in
one dalam satu transaksi. Namun harus dicatat, larangan itu hanya
berlaku kepada beberapa kasus saja. Bahkan hadits kedua dan
ketiga maknanya sama, walaupun redaksinya berbeda. Maksud Hadits shafqataini
fi shafqatin adalah bai’ataini fi bai’atin.
1. menggabungkan
akad qardh dg jual beli
2. bai’ al-‘inah
3. penjual menawarkan dua harga atau beberapa harga
kepada pembeli.
B. Pandangan
Ulama
1. Aliudin
Za’tary dalam buku Fiqh al-Muamalah al-Maliyah al-Muqaran mengatakan “ Tidak
ada larangan dalam syariah tentang penggabungan dua akad dalam satu transaksi,
baik akad pertukaran (bisnis) maupun akad tabarru’. Hal ini berdasarkan
keumuman dalil-dalil yang memerintahkan untuk memenuhi
(wafa) syarat-syarat dan akad-akad” Dengan demikian, hukum multi akad
adalah boleh.
2. Mayoritas
ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan
Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah sah
dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan
beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan
dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau
membatalkannya. Kecuali
menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba,
seperti menggabungkan qardh dengan akad yang lain, karena adanya larangan
hadits menggabungkan jual beli dan qardh. Demikian pula menggabungkan
jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi
3. Menurut
Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali
yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan
Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.( Ibn Taimiyah, Jâmi’ al-Rasâil, j. 2,
hal. 317)
4. Nazih
Hammad dalam buku al-’Uqûd
al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy menuliskan,
”Hukum dasar dalam syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi hybrid
contract , selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan
sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada
dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi
mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus
itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai
kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati. (Nazîh Hammâd, al-’uqûd al-Murakkabah fi
al-Fiqh al-Islâmy, hal. 8)
5. Ibn
al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah,
kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.(Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j.
1, hal. 344)
6. Asy-Syâtiby
menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya,
hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang
diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal
dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât
ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan
atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar
kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip
dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud).[1]
( Asy-Syâtiby, al-Muwâfaqât,
j. 1, hal. 284)
7. Pendapat
ini didasarkan pada beberapa nash yang menunjukkan kebolehan multi akad dan
akad secara umum. Pertama firman Allah dalam surat al-Mâidah ayat 1 yang artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman penuhilah olehmu akad-akad”. (QS. Al-Mâidah :
1)
8. Buku-buku
teks fikih muamalah kontemporer, menyebut istilah hybrid contract dengan
istilah yang beragam, seperti:
a) al-’uqûd
al-murakkabah (akad-akad yang tersusun),
b) al-’uqûd
al-muta’addidah (akad-akad yang berbilang) ,
c) al-’uqûd
al-mutaqâbilah (akad yang berhadapan-berpasangan),
d) al-’uqûd
al-mujtami’ah (akad-akad yang
berhimpun) , dan
e) al-’Ukud
al-Mukhtalitah (akad-akad yang bercampur),
f) al-‘ukud
al-mutakarrirah (akad-akad yang berulang), dan
g) al-‘ukud
al-mutadakhilah (akad yang satu masuk kepada akad yang lain).
Namun
istilah yang paling populer ada dua macam , yaitu:
a) al-ukud
al-murakkabah
b) al-ukud
al mujtami’ah.
Adapula
menggunakan istialah al-ukud almutajanisah (akad-akad yang sejenis)
9. Dr.
Nazih Hammad dalam buku Al-’uqûd
al-Murakkabah fî al-Fiqh al-Islâmy, 2005),
hlm. 7 mendefinisikan hybrid contract sebagai berikut, “Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu
akad yang mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli dengan sewa
menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sharaf (penukaran mata uang),
syirkah, mudharabah … dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang
terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang
sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat
hukum dari satu akad.”
10.
Sementara
itu Abdullah al-“Imrani dalam buku Al-Ukud al-Maliyah
al-Murakkabah mendefinisikan hybrid contract yaitu “Himpunan
beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad –baik secara gabungan
maupun secara timbal balik– sehingga seluruh hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad”.
Kedua definisi di atas tampaknya mirip dan tidak
terdapat perbedaan. Hybrid contract itu dipandang sebagai satu kesatuan akad
dan semua akibat hukum akad-akad yang tergabung tersebut, serta
semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan
yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.
Menurut asy-Syatibi, penelitian terhadap hukum Islam menunjukkan bahwa dampak
hukum dari hybrid contract tidak sama seperti saat akad itu berdiri
sendiri-sendiri. [1] Asy-Syâtiby,
al-Muwâfaqât, j. 3, hal. 144 – 146
Misalnya, musyarakah mutanaqishah, mudharabah
musytarakah, bai’ wafa’ bai’ istighlal, bai’ tawarruq, bai’ takjiri (sewa
beli), dan sebagainya. Akan tetapi harus dicatat, meskipun sudah menjadi
satu kesatuan, dalam pembuatan draft kontrak, akad-akad yang tergolong hybrid
tersebut ada yang dapat digabungkan dalam satu title kontrak dan ada pula yang
dipisahkan. Untuk musyarakah mutanaqishah, akad syirkah milk, dibuat
terpisah dengan akad ijarah, demikian pula akad pembiayaan take over,
masing-masing akadnya dipisahkan,namun dipandang sebagai satu kesatuan.
Sedangkan akad bai’ wafa, bai istighlal, sewa beli, kartu kredit, dapat
disatukan dalam satu dokumen (materai).
C. Macam-macam hybrid
contract
1. Mukhtalithah (bercampur) yang memunculkan nama baru, seperti
bai’ istighlal , bai’ tawarruq, musyarakah mutanaqishah dan bai’ wafa’.
a) Jual
beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli dan ijarah,
sehingga bercampur 3 akad. Akad ini disebut juga three in one.
b) Jual Beli Tawarruq percampuran 2 akad jual beli. Jual Beli 1 dengan pihak
pertama, Jual Beli kedua dengan pihak ketiga.
c) Musyarakah Mutanaqishah (MMQ). Akad ini campuran akad syirkah milik
dengan Ijarah yang mutanaqishah atau jual beli yang disifati
dengan mutanaqishah (decreasing). Percampuran akad-akad ini melahirkan nama baru,
yaitu musyarakah mutanaqishah (MMQ). Substansinya hampir sama
dengan IMBT, karena pada akhir periode barang menjadi milik nasabah,
namun bentuk ijarahnya berbeda, karena transfer of title ini bukan
dengan janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang
mutanaqishah, karena itu sebutannya ijarah saja, bukan IMBT.
d) Bai’ wafa’ adalah percampuran (gabungan) 2 akad jual beli yang melahirkan
nama baru. Pada awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah, akad ini
merupakan multiakad (hybrid), tetapi dalam proses sejarah menjadi 1 akad,
dengan nama baru yaitu bai’ wafa’.
2. Mujtami’ah/mukhtalitah dengan nama akad baru, tetapi menyebut nama akad yang lama. Contohnya seperti:
a) sewa beli (bai’ takjiri) Lease and purchase.
b) mudharabah musytarakah pada life insurance dan deposito bank syariah.
c) Contoh lainnya yang cukup menarik ialah menggabungkan wadiah dan
mudharabah pada GIRO, yang bisa disebut Tabungan dan Giro Automatic
Transfer Mudharabah dan Wadiah. Nasabah mempunyai 2 rekening, yakni tabungan
dan giro sekaligus.(2 rekening dlm 1 produk).Setiap rekening dapat pindah
secara otomatis jika salah satu rek membutuhkan.
Sewa beli (bai’ takjiry/lease and purchase). Menurut buku Fiqh Muamalah
al-Mu’ashirah, Usman Tsabir, sewa beli hukumnya boleh, tidak terdapat
gharar padanya. Menurutnya, “Sesungguhnya ulama berbeda pendapat tentang hukum
menggabungkan dua akad ; antara jual beli dan ijarah. Sebagian ulama mengatakan
boleh, yaitu ulama Malikiyah dan Imam asy-Syafi’iy dalam salah satu
pendapatnya, juga Qadhi dari Ulama Hanabilah Sebagian ulama mengatakan
tidak boleh, yaitu Hanafiyah, Zhahiriyah, mazhab Syafi’iy dan al-Kharqy dari
Hanabilah”.
Selanjutnya Dr.Usman Tsbir mentarjih sebagai
berikut, “Tetapi pendapat yang paling kuat adalah pendangan yang membolehkan.
Inilah pendapat yang paling nyata (realistis), karena barang (obyek) yang
dibeli dan jasa yang dilakukan, keduanya membutuhkan iwadh’, bisa
berlaku masing-masing dan bisa pula digabung sekaligus. Perbedaan sewa dan beli tidak merusak sahnya akad.
Karena perbedaan hukum (ketentuan) dua akad tidak mencegah sahnya akad.
Di antara dalil yang menguatkan pendapat yang membolehkan penggabungan akad
jual beli dan ijarah (two in one), adalah kaedah dasar dalam pertukaran, Tidak
ada dalil yang mengharamkannya. Hukumnya boleh karena dasar istishab”
3. Hybrid
contract, yang akad-akadnya tidak bercampur dan tidak melahirkan
nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan eksis dan dipraktikkan
dalam suatu transaksi. Contohnya :
a) Kontrak
akad pembiayaan take over pada alternatif 1 dan 4 pada fatwa DSN MUI
No 31/2002
b) Kafalah
wal ijarah serta qardh dan ijarah pada kartu kredit,
c) Wa’ad
untuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah, dll pada pembiayaan rekening koran
or line facility
d) Murabahah
wal wakalah pd pembiayaan murabahah basithah.
e) Wakalah
bil ujrah pada L/C, RTGS, General Insurance, dan Factoring,
f) Kafalah
wal Ijarah pada LC, Bank Garansi, pembiayaan multi jasa / multi guna, kartu
kredit.
g) Mudharabah
wal murabahah/ijarah/istisna pada pembiayaan terhadap karyawan koperasi
instansi.
h) Hiwalah
dan syirkah pada factoring.
i) Rahn
wal ijarah pada REPO, SBI dan, SPN dan SBSN
j) Qardh,
Rahn dan Ijarah pada produk gadai emas di bank syariah
k) Dalam
transaksi pasar uang antar bank syariah yang menggunakan bursa komoditas
dibutuhkan 5 akad, yaitu
1) Akad
bai’ antara bank surplus (peserta komersial) dengan pedagang komoditas (peserta
komersial), ,
2) Akad
murabahah antara bank surplus dengan bank deficit (konsumen komoditas),
3) Akad
bai’ antara bank deficit dengan pedagang komoditas ’,
4) Wakalah
antara bank deficit kepada agen atau Bursa Berjangka Jakarta,
5) Akad
bai’ muqayadhah, antara sesama pedagang komodity.
4. Mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan).
Bentuk
ini dilarang dalam syariah. Contohnya menggabungkan akad
jual beli dan pinjaman (bai’ wa salaf). Contoh lain,
menggabungkan qardh wal ijarah dalam satu akad. Kedua contoh tersebut dilarang oleh
nash (dalil) syariah, yaitu hadits Rasulullah Saw. Contoh lainnya :
menggabungkan qardh dengan janji hadiah
5. Selain
itu, ada pula hybrid contract yang Mustatir (tersembunyi)
Misalnya,
tabungan mudharabah di bank syariah. Akad yang digunakan pada saat transkasi
hanyalah satu akad yakni mudharabah, namun, sebenarnya dalam akad tersebut
tidak cukup hanya satu akad, harus ada akad lain sebagai tambahan, yaitu
kafalah, karena ketika nasabah menarik dana di ATM bersama, bukan ATM bank
bersangkutan, diperlukan akad kafalah. Namun akad tersebut tidak disebutkan,
melainkan tersembunyi (mustatir) karena sudah menjadi ‘urf (adat kebiasaan) perbankan
dimana setiap tabungan, dapat ditarik di ATM tertentu (ATM bersama).
Dalam sukuk ijarah, sebenarnya terdapat tiga akad,
yaitu akad bai’ (bai’ al-manfa’ah), akad ijarah dan akad bai’
kembali. Namun, dalam penamaan biasanya disebut sukuk ijarah saja.
Dalam praktek legal (hukum) di lembaga keuangan
syariah, ada hybrid contract, yang akad-akadnya harus
dipisahkan dan ada pula yang boleh disatukan dalam satu dokumen (satu materai).
Akad syirkah munataqishah, harus dipisahkan akad-akadnya, akad
pertama ialah syirkah milik, dan akad kedua adalah ijarah yang khusus.
Semua ulama mengharuskan terpisahnya dua akad tersebut.
Dalam Gadai syariah terdapat tiga akad, yaitu rahn,
qardh (dayn) dan ijarah. Akad rahn dan dain (hutang), boleh disatukan, karena
memang harus bersatu dalam satu kertas, sedangkan akad ijarah sebaiknya
dipisahkan, untuk menghindari kesan penafsiran ijarah itu atas dasar
hutang (qardh). Ijarah tidak terkait dengan qardh, melainkan
terkait dengan penyewaaan tempat, keamanan, dsb.
Dalam kartu kredit terdapat dua akad, yaitu kafalah
dan ijarah pada ketika pembelian barang di merchant, dan kedua akad qardh
dan ijarah, ketika penarikan uang.
Dalam
pembiayaan take over banyak sekali alternative hybrid contract di
dalamnya berdasarkan fatwa DSN MUI No 31/2002. Antara lain, gabungan akad
qardh, bai’ dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT) atau murabahah. Jika menggunakan
akad murabahah, mirip dengan bai’ al-‘inah, maka seharusnya dihindari. Akad bai’ dalam pembiyaan take over dapat
dilakukan di bawah tangan (secara fikih saja, tanpa notaris), karena hanya
sebagai bridging of financing. Peran notaris hanyalah
ketika akad murabahah berlangsung.
Dalam praktik hedging (tahawwuth) melalui Islamic
swap, akadnya juga hybrid, pertama dapat menggunakan double qardh, kedua sharf
biasa dan wa’ad, ketiga, tawarruq timbal balik (double tawarruq).Semuanya
adalah hybrid contract.
D.
Hybrid Contract yang dilarang
Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan dua
bentuk multi akad yang dilarang,
1) Multi
akad dalam jual beli (bai’) dan pinjaman (بيع و سلف ),
2) Dua
akad jual beli dalam satu akad jual beli ( بيعتين فى بيعة واحدة ), dan
Dua transaksi dalam satu transaksi (فى صفقة واحدة صفقتين )
Penjelasan
1) Menggabungkan
akad Bai’ (jual beli ) dan Salaf dan (pinjaman)
Dalam sebuah hadis disebutkan: “Dari Abu
Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR.
Ahmad) [1] Imam
Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2, (Beirut: Dâr
al-Ihyâi al-Turâts al-’Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178
Contoh seseorang (Ali) meminjamkan (qardh)
sebesar 1000 dirham, lalu dikaitkan dengan penjualan barang yang bernilai 900
dirham,tetapi harga penjualan itu tetap harga 1000 dirham.
Seolah-olah
Ali memberi pinjamani 1000 dengan akad qardh, dan menjual barang seharga 900,
agar mendapatkan margin 100 dirham. Di sini Ali memperoleh kelebihan 100,
karena harga penjualan barang menjadi Rp 1000.[1]. Namun menurut Imrani, tidak
selamanya diharamkan, karena jika harga barang sesuai dengan harga pasar, maka
tidak menjadi masalah hybrid contract antara qardh dan jual beli.
[1] Ibn
Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rab al-‘Âlamîn, (Kairo:
Maktabah Ibn Taimiyyah, t.t.), j. 3, hal. 153
Ibn Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi
akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan
jual beli, untuk menghindari terjurumus kepada riba yang diharamkan.
Namun, jika kedua akad itu terpisah (tidak tergantung,muallaq) hukumnya
boleh.
Penegasan : Larangan ini hendak menunjukkan bahwa
qardh tidak boleh dikaitkan dengan akad apapun, qardh adalah akad tabarru’,
bukan akad bisnis.
2) Bai’atan
fi Bay’ataini
Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu
akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi:
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang
dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik)
[1] Imâm
Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, j. 2, hal. 663
Redaksi hadits yang mirip dengan hadits di atas,
adalah shafqatain fi shafqatin wahidah (dua transaksi dalam
satu transaksi).
Banyak tafsir tentang hadits ini Pendapat yang
dipilih (râjih) adalah pendapat yang mengatakan bahwa akad demikian
menimbulkan ketidakjelasan harga dan menjerumuskan ke riba.
Misalnya seorang penjual berkata kepada orang
banyak di sebuah jamaah, ”Saudara-saudara, saya menjual barang ini Rp 1 Juta,
jika dibayar cash, dan Rp 1,2 juta jika cicilan setahun”. Lalu seorang yang
hadir berkata, “Saya beli”. Di sini telah terjadi ijab dan qabul, sementara
harganya tidak jelas, karena dipilihkan dua macam harga.
Ada pula yang menafsirkan seperti ini : seseorang
menjual suatu barang dengan cicilan, dengan syarat pembeli harus menjual
kembali kepada orang yang menjual itu dengan harga lebih rendah secara kontan.
Akad al-’Inah seperti ini merupakan hîlah dari riba.
Inilah yang disebut bai’ al’inah. Menurut Ibnu Qayyim, penafsiran inilah yang
paling kuat.
E.
Ketentuan (dhawabith) hybrid Contract
Larangan Hybrid Contract disebabkan beberapa hal :
1) Dilarang
karena nash Agama
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang
dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik)
[1] Imâm
Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, j. 2, hal. 663
Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu
akad jual beli didasarkan pada nash hadis
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang
dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik)
[1] Imâm
Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, j. 2, hal. 663
Dalam sebuah hadis disebutkan:
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli
dan pinjaman”. (HR.
Ahmad)
[1] Imam
Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2, (Beirut: Dâr
al-Ihyâi al-Turâts al-’Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178
Selain perspektif nash agama, larangan ini
sesungguhnya dikarenakan transaksi itu mengandung riba dan gharar.
2) Dilarang
karena Hilah kepada Riba
Contohnya
ialah:
a) Jual
Beli al-I’nah. Jual beli dilarang karena hilah kepada riba.
b) praktik
tawarruq munazzam yang berputar dan bank surplus bertindak juga sebagai
wakil pembeli dalam menjual barang ke agen di bursa sebagaimana yang difatwakan
ulama OKI.
c) menggabungkan
akad tawarruq, wakalah dan wadi’ah untuk pembiyaaan multi guna. Di mana pihak
ketiga adalah anak perusahaan dari Bank Islam yang memberikan dana.
3) Multi
akad menyebabkan jatuh ke riba.
a. Setiap
multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti riba, hukumnya haram,
meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh, seperti menggabungkan qardh
dengan janji hadiah.
b. Penghimpunan
beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang
menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. seperti : multi akad antara akad salaf dan
jual beli. Contoh, Saya meminjamkan uang kepada anda sebesar Rp 1 juta, dengan
ketentuan anda harus membeli Hand phone saya dengan harga sekian.
c. Multi
akad : Gabungan qardh dan hibah/manfaat lain dilarang
syariah. Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi
dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Contoh, seseorang,
(misalnya Ahmad) meminjamkan uang kepada si B, dengan syarat Ahmad menempati
rumah si B. Contoh lain : Saya pinjamkan kpd anda uang Rp 200.000. tapi saya
pakai motor anda selama 3 hari. Termasuk dalam kategori ini menggabungkan Qardh
dgn Ijarah dalam satu transaksi, kecuali ijarahnya sebatas biaya operasional,
yaitu untuk menutupi riel cost.
d. Malikiyah
melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara akad
qardh dengan ijarah., [1]
[1] Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 181 – 182 .
[1] Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 181 – 182 .
4) Multi
akad menyebabkan jatuh ke gharar.
Misalnya sebuah perusahaan
multifinance menjual mobil kepada nasabah, dengan harga tertentu, misalkan Rp
250 juta untuk masa 24 bulan, tanpa urbun di awal. Namun perusahaan itu
menawarkan beberapa alternative besaran urbun, tanpa ditetapkan
(dipilih) salah satu alkternatif besaran urbunnya. Jika urbun dibayar bulan ke
enam , harganya lebih murah, jika bulan ke 13 harga urbunnya sekian, dst.
Dengan beragamnya harga tersebut, maka tidak ada kepastian harga pembelian
barang tersebut.Inilah yang disebut dengan gharar.
F. Kritik dan Saran
Perbankan
syariah, harus memperbaiki
diri dalam peningkatan kualitas SDM-nya dengan
melaksanakan training dan workshop intensif mengenai inovasi produk. Selain
itu, para bankir bank syariah bisa mengikuti kuliah S2 (pascasarjana) ekonomi
syariah konsentrasi perbankan syariah. Minimal setiap provinsi terdapat sebuah
Perguruan Tinggi yang membuka program S2 ekonomi syariah yang mengikuti
perkembangan keuangan modern.
The titanium curling wand - TITanium Art
BalasHapusTITE hypoallergenic titanium earrings · 4x8 sheet metal prices near me Dovo, titanium mesh the new 'Vincantile' created to enhance the experience of using natural and organic how strong is titanium ingredients and titanium build for kodi to enhance the $37.99 · In stock