Terdepan dan Terpercaya

Rabu, 02 November 2016

HYBRID CONTRACT (MULTI AKAD)



HYBRID CONTRACT
A.   Pendahuluan
Di era transkasi keuangan modern yang semakin kompleks, dibutuhkan design kontrak akad dalam bentuk kombinasi beberapa akad yang disebut dengan hibryd contract (multiakad), atau biasa disebut al-ukud al-murakkabah. Bentuk akad tunggal sudah tidak mampu meresponi transaksi keuangan kontemporer.
Dr. Mabid al-Jarhi, mantan direktur IDB pernah mengatakan, kombinasi akad di zaman sekarang adalah sebuah keniscayaan. Cuma masalahnya, literatur ekonomi syariah yang ada di Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan dua akad dalam satu transaksi akad (two in one). Padahal, larangan two in one terbatas dalam tiga kasus saja sesuai dengan sabda-sabda Nabi Muhammad Saw yang terkait dengan itu. Two in one tidak boleh diperluas kepada masalah lain yang tidak relevan dan tidak pas konteksnya. Para dosen, ahli ekonomi syariah, dan bankir syariah harus mempelajari secara mendalam pandangan ulama tentang akad two in one dan al-‘ukud al-murakkabah, agar pemahaman terhadap design kontrak syariah lebih komprehensif, dinamis dan tidak kaku. Kekakuan itu bisa terjadi karena kedangkalan metodologis syariah dan kelangkaan litaratur. Buku-buku fiqh muamalah kontemporer yang membahas permasalahan hybrid contract (kombinasi akad) antara lain, Al-‘Ukud al-Murakkabah fi Fiqh al-Islami, karya, Nazih Hammad, Damaskus 2005), juga buku al-‘Ukud al-Maliyah al-Murakkabah oleh al-‘Imrani.
Cuma masalahnya, literatur ekonomi syariah yang ada di Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan dua akad dalam satu transaksi  (two in one). Artinya, kontrak yang mengandung two in one terlarang dalam syariah. Larangan tersebut digenerasilisasi untuk seluruh  kontrak, sehingga setiap kontrak yang mengandung dua akad atau lebih dipandang bertentangan dengan syariah. Di sinilah diperlukan ‘ulumul hadits dan ilmu mushtalahul hadits. Sejumlah kitab syarah hadits juga harus dirujuk. Menurut studi yang komprehensif terhadap tiga buah hadits yang melarang two in one, dapat disimpulkan  bahwa syariah hanya membatasi larangan itu untuk beberapa kasus saja dan  membolehkannya  dalam ruang lingkup yang sangat luas.
Jadi, selama ini, larangan ini ditafsirkan secara dangkal dan salah, sehingga menyempitkan pengembangan kegiatan transaksi dan pengembangan produk bank dan keuangan syariah. Terjadilah pelarangan terhadap sesuatu yang sesungguhnya tidak dilarang.
Para dosen, ahli ekonomi syariah, bankir syariah dan konsultan harus mempelajari secara mendalam pandangan ulama tentang akad two in one dan al-ukud al-murakkabah, agar pemahaman terhadap design kontrak syariah, bisa lebih komprehensif, dinamis dan tidak kaku. Kekakuan itu bisa terjadi karena kedangkalan metodologis syariah dan kelangkaan litaratur yang sampai kepada kita.
Memang ada tiga buah hadits Nabi Saw yang menunjukkan larangan penggunaan hybrid contract. Ketiga hadits itu berisi tiga larangan,  pertama larangan  bai’ dan salaf, kedua, larangan bai’ataini fi bai’atin, dan ketiga larangan shafqataini fi shafqatin. Ketiga hadits itulah yang selalu dijadikan rujukan para ahli, konsultan dan banker syariah tentang larangan akad  two in one dalam satu transaksi. Namun harus dicatat, larangan itu hanya berlaku kepada beberapa  kasus saja.  Bahkan hadits kedua dan ketiga maknanya sama, walaupun redaksinya berbeda. Maksud Hadits shafqataini fi shafqatin adalah bai’ataini fi bai’atin.
1.  menggabungkan akad qardh dg  jual beli
2. bai’ al-‘inah
3. penjual menawarkan dua harga atau beberapa harga kepada pembeli.
B.   Pandangan Ulama
1.     Aliudin Za’tary dalam buku Fiqh al-Muamalah al-Maliyah  al-Muqaran mengatakan “ Tidak ada larangan dalam syariah tentang  penggabungan dua akad dalam satu transaksi, baik akad  pertukaran (bisnis) maupun akad tabarru’. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil  yang memerintahkan  untuk  memenuhi (wafa)  syarat-syarat dan akad-akad” Dengan demikian, hukum multi akad adalah boleh.
2.     Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama  yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. Kecuali menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan qardh dengan akad yang lain, karena adanya larangan hadits menggabungkan jual beli dan  qardh. Demikian pula menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi
3.     Menurut Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.( Ibn Taimiyah, Jâmi’ al-Rasâil, j. 2, hal. 317)
4.     Nazih Hammad dalam buku al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy menuliskan, ”Hukum  dasar dalam  syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi  hybrid contract , selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati. (Nazîh Hammâd, al-’uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy, hal. 8)
5.     Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.(Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 344)
6.     Asy-Syâtiby menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum.  Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud).[1] ( Asy-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 1, hal. 284)
7.     Pendapat ini didasarkan pada beberapa nash yang menunjukkan kebolehan multi akad dan akad secara umum. Pertama firman Allah dalam surat al-Mâidah ayat 1 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah olehmu akad-akad”. (QS. Al-Mâidah : 1)
8.     Buku-buku  teks fikih muamalah kontemporer,  menyebut istilah hybrid contract dengan  istilah yang beragam,  seperti:
a)    al-’uqûd  al-murakkabah (akad-akad yang tersusun),
b)    al-’uqûd  al-muta’addidah (akad-akad yang berbilang) ,
c)     al-’uqûd al-mutaqâbilah (akad yang berhadapan-berpasangan), 
d)    al-’uqûd al-mujtami’ah (akad-akad yang berhimpun) ,  dan
e)     al-’Ukud al-Mukhtalitah (akad-akad yang bercampur),
f)       al-‘ukud al-mutakarrirah (akad-akad yang berulang), dan
g)    al-‘ukud al-mutadakhilah (akad yang satu masuk kepada akad yang lain).  
Namun istilah yang paling populer ada dua macam , yaitu:
a)    al-ukud al-murakkabah
b)    al-ukud al mujtami’ah.
Adapula menggunakan istialah al-ukud almutajanisah (akad-akad yang sejenis)
9.     Dr. Nazih Hammad dalam buku Al-’uqûd al-Murakkabah fî al-Fiqh al-Islâmy, 2005), hlm. 7 mendefinisikan hybrid contract sebagai berikut, “Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sharaf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”
10.           Sementara itu  Abdullah al-“Imrani dalam buku Al-Ukud al-Maliyah al-Murakkabah mendefinisikan hybrid contract yaitu “Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad –baik secara gabungan maupun secara timbal balik– sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad”.
Kedua definisi di atas tampaknya mirip dan tidak terdapat perbedaan. Hybrid contract itu dipandang sebagai satu kesatuan akad  dan semua akibat hukum akad-akad yang tergabung  tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad. Menurut asy-Syatibi, penelitian terhadap hukum Islam menunjukkan bahwa dampak hukum dari hybrid contract  tidak sama seperti saat akad itu berdiri sendiri-sendiri.  [1] Asy-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 3, hal. 144 – 146
Misalnya, musyarakah mutanaqishah, mudharabah musytarakah, bai’ wafa’ bai’ istighlal, bai’ tawarruq, bai’ takjiri (sewa beli), dan sebagainya. Akan tetapi harus dicatat, meskipun sudah menjadi satu kesatuan, dalam pembuatan draft kontrak, akad-akad yang tergolong hybrid tersebut ada yang dapat digabungkan dalam satu title kontrak dan ada pula yang dipisahkan. Untuk musyarakah mutanaqishah, akad syirkah milk, dibuat terpisah dengan akad ijarah, demikian pula akad pembiayaan take over, masing-masing akadnya dipisahkan,namun dipandang sebagai satu kesatuan. Sedangkan akad  bai’ wafa, bai istighlal, sewa beli, kartu kredit, dapat disatukan dalam satu dokumen (materai).
C.   Macam-macam hybrid contract
1.     Mukhtalithah (bercampur) yang memunculkan nama baru, seperti bai’ istighlal , bai’  tawarruq, musyarakah mutanaqishah dan bai’ wafa’.
a)     Jual beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli dan ijarah, sehingga bercampur  3 akad. Akad ini disebut juga  three in one.
b)    Jual Beli Tawarruq percampuran 2 akad jual beli. Jual Beli 1 dengan pihak pertama, Jual Beli kedua dengan pihak ketiga.
c)     Musyarakah  Mutanaqishah (MMQ). Akad ini campuran akad syirkah milik dengan  Ijarah  yang mutanaqishah atau jual beli yang disifati dengan mutanaqishah (decreasing). Percampuran akad-akad ini melahirkan nama baru, yaitu musyarakah mutanaqishah (MMQ). Substansinya hampir sama dengan IMBT, karena pada akhir periode barang menjadi milik nasabah, namun  bentuk ijarahnya berbeda,  karena transfer of title ini bukan dengan janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang mutanaqishah, karena itu  sebutannya ijarah saja, bukan IMBT.
d)    Bai’ wafa’ adalah percampuran (gabungan) 2 akad jual beli yang melahirkan nama baru. Pada  awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah, akad  ini merupakan multiakad (hybrid), tetapi dalam proses sejarah menjadi 1 akad, dengan nama baru  yaitu bai’ wafa’.
2.     Mujtami’ah/mukhtalitah dengan nama akad baru, tetapi menyebut nama akad yang lama. Contohnya seperti: 
a)     sewa beli (bai’ takjiri) Lease and purchase.
b)    mudharabah musytarakah pada life insurance dan deposito bank syariah.
c)     Contoh lainnya yang cukup menarik  ialah menggabungkan wadiah dan mudharabah pada GIRO, yang bisa disebut   Tabungan dan Giro Automatic Transfer Mudharabah dan Wadiah. Nasabah mempunyai 2 rekening, yakni tabungan dan giro sekaligus.(2  rekening dlm 1 produk).Setiap rekening dapat pindah secara otomatis jika salah satu rek membutuhkan.
Sewa beli (bai’ takjiry/lease and purchase). Menurut buku Fiqh Muamalah al-Mu’ashirah, Usman Tsabir, sewa beli hukumnya boleh, tidak terdapat gharar padanya. Menurutnya, “Sesungguhnya ulama berbeda pendapat tentang hukum menggabungkan dua akad ; antara jual beli dan ijarah. Sebagian ulama mengatakan boleh, yaitu ulama Malikiyah dan Imam asy-Syafi’iy dalam salah satu pendapatnya, juga Qadhi dari Ulama Hanabilah  Sebagian ulama mengatakan tidak boleh, yaitu Hanafiyah, Zhahiriyah, mazhab Syafi’iy dan al-Kharqy dari Hanabilah”.
Selanjutnya Dr.Usman Tsbir mentarjih sebagai berikut, “Tetapi pendapat yang paling kuat adalah pendangan yang membolehkan. Inilah pendapat yang paling nyata (realistis), karena barang (obyek) yang dibeli dan jasa yang dilakukan, keduanya membutuhkan iwadh’, bisa berlaku masing-masing dan bisa pula digabung sekaligus. Perbedaan sewa dan beli tidak merusak sahnya akad. Karena perbedaan hukum (ketentuan) dua akad tidak mencegah  sahnya akad. Di antara dalil yang menguatkan pendapat yang membolehkan penggabungan akad jual beli dan ijarah (two in one), adalah kaedah dasar dalam pertukaran, Tidak ada dalil yang mengharamkannya. Hukumnya boleh karena dasar istishab”
3.     Hybrid  contract, yang akad-akadnya  tidak bercampur dan tidak melahirkan nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan eksis dan dipraktikkan dalam suatu transaksi. Contohnya :
a)     Kontrak  akad pembiayaan take over pada  alternatif 1 dan 4 pada fatwa DSN MUI No  31/2002
b)    Kafalah wal ijarah serta qardh dan ijarah  pada kartu kredit,
c)     Wa’ad untuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah, dll pada pembiayaan rekening koran or line facility
d)    Murabahah wal wakalah pd pembiayaan murabahah basithah.
e)     Wakalah bil ujrah pada L/C, RTGS,  General Insurance, dan Factoring,
f)      Kafalah wal Ijarah pada LC, Bank Garansi, pembiayaan multi jasa / multi guna, kartu kredit.
g)     Mudharabah wal murabahah/ijarah/istisna pada pembiayaan terhadap karyawan koperasi instansi.
h)    Hiwalah dan syirkah  pada factoring.
i)       Rahn wal ijarah pada REPO, SBI dan, SPN dan  SBSN
j)       Qardh, Rahn dan Ijarah pada produk gadai emas di bank syariah
k)    Dalam transaksi pasar uang antar bank syariah yang menggunakan  bursa komoditas dibutuhkan 5 akad, yaitu   
1)    Akad bai’ antara bank surplus (peserta komersial) dengan pedagang komoditas (peserta komersial), ,
2)    Akad murabahah antara bank surplus dengan bank deficit (konsumen komoditas),
3)    Akad  bai’ antara bank deficit  dengan pedagang  komoditas ’,
4)    Wakalah  antara bank deficit kepada agen atau Bursa Berjangka Jakarta,
5)    Akad bai’ muqayadhah, antara sesama pedagang komodity.
4.     Mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan). 
Bentuk ini dilarang dalam syariah.  Contohnya menggabungkan akad     jual beli dan pinjaman (bai’ wa salaf). Contoh lain, menggabungkan qardh wal ijarah dalam satu akad. Kedua contoh tersebut dilarang oleh nash (dalil) syariah, yaitu hadits Rasulullah Saw.  Contoh lainnya  : menggabungkan  qardh dengan janji hadiah
5.     Selain itu, ada pula hybrid contract yang Mustatir (tersembunyi)
Misalnya, tabungan mudharabah di bank syariah. Akad yang digunakan pada saat transkasi hanyalah satu akad yakni mudharabah, namun, sebenarnya dalam akad tersebut tidak cukup hanya satu akad, harus ada akad lain sebagai tambahan, yaitu kafalah, karena ketika nasabah menarik dana di ATM bersama, bukan ATM bank bersangkutan, diperlukan akad kafalah. Namun akad tersebut tidak disebutkan, melainkan tersembunyi (mustatir)  karena sudah menjadi ‘urf (adat kebiasaan) perbankan dimana setiap tabungan, dapat ditarik di ATM  tertentu (ATM bersama).
Dalam sukuk ijarah, sebenarnya terdapat tiga akad, yaitu akad bai’ (bai’ al-manfa’ah), akad ijarah dan akad bai’ kembali. Namun, dalam penamaan biasanya disebut sukuk ijarah saja.
Dalam praktek legal (hukum) di lembaga keuangan syariah, ada hybrid contract, yang akad-akadnya harus dipisahkan dan ada pula yang boleh disatukan dalam satu dokumen (satu materai). Akad syirkah munataqishah, harus dipisahkan akad-akadnya, akad pertama ialah syirkah milik, dan akad kedua  adalah ijarah yang khusus. Semua ulama mengharuskan terpisahnya dua akad tersebut.
Dalam Gadai syariah terdapat tiga akad, yaitu rahn, qardh (dayn) dan ijarah. Akad rahn dan dain (hutang), boleh disatukan, karena memang harus bersatu dalam satu kertas, sedangkan akad ijarah sebaiknya dipisahkan, untuk menghindari kesan penafsiran ijarah itu atas dasar hutang (qardh). Ijarah tidak terkait dengan qardh, melainkan terkait dengan penyewaaan tempat, keamanan, dsb.
Dalam kartu kredit terdapat dua akad, yaitu kafalah dan  ijarah pada ketika pembelian barang di merchant, dan kedua akad qardh dan ijarah, ketika penarikan uang.
Dalam pembiayaan take over banyak sekali alternative hybrid contract di dalamnya berdasarkan fatwa DSN MUI No 31/2002. Antara lain, gabungan akad qardh, bai’ dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT) atau murabahah. Jika menggunakan akad murabahah, mirip dengan bai’ al-‘inah, maka seharusnya dihindari. Akad bai’ dalam pembiyaan take over dapat dilakukan di bawah tangan (secara fikih saja, tanpa notaris), karena hanya sebagai bridging of  financing. Peran notaris hanyalah  ketika akad murabahah berlangsung.
Dalam praktik hedging (tahawwuth) melalui Islamic swap, akadnya juga hybrid, pertama dapat menggunakan double qardh, kedua sharf biasa dan wa’ad, ketiga, tawarruq timbal balik  (double tawarruq).Semuanya adalah hybrid contract.

D.   Hybrid Contract yang dilarang
Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan dua bentuk multi akad yang dilarang,
1)    Multi akad dalam jual beli (bai’) dan pinjaman (بيع و سلف ),
2)    Dua akad jual beli dalam satu akad jual beli ( بيعتين فى بيعة واحدة ), dan
Dua transaksi  dalam satu transaksi (فى صفقة واحدة صفقتين )

Penjelasan
1)    Menggabungkan  akad  Bai’ (jual beli ) dan Salaf dan (pinjaman)
Dalam sebuah hadis disebutkan: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad) [1] Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2, (Beirut: Dâr al-Ihyâi al-Turâts al-’Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178
Contoh seseorang (Ali) meminjamkan (qardh) sebesar 1000 dirham, lalu dikaitkan dengan penjualan barang yang bernilai 900 dirham,tetapi harga penjualan itu tetap harga 1000 dirham.
Seolah-olah Ali memberi pinjamani 1000 dengan akad qardh, dan menjual barang seharga 900, agar mendapatkan margin 100 dirham. Di sini Ali  memperoleh kelebihan 100, karena harga penjualan barang menjadi Rp 1000.[1]. Namun menurut Imrani, tidak selamanya diharamkan, karena jika harga barang sesuai dengan harga pasar, maka tidak menjadi masalah hybrid contract antara qardh dan jual beli.
[1] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în ‘an Rab al-‘Âlamîn, (Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah, t.t.), j. 3, hal. 153
Ibn Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, untuk menghindari terjurumus kepada riba yang diharamkan.  Namun, jika kedua akad itu terpisah (tidak tergantung,muallaq) hukumnya boleh.
Penegasan : Larangan ini hendak menunjukkan bahwa qardh tidak boleh dikaitkan dengan akad apapun, qardh adalah akad tabarru’, bukan akad bisnis.
2)    Bai’atan fi Bay’ataini
Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi:
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik)
[1] Imâm Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, j. 2, hal. 663
Redaksi hadits yang mirip dengan hadits di atas, adalah shafqatain fi shafqatin wahidah (dua transaksi dalam satu transaksi).
Banyak tafsir tentang hadits ini Pendapat yang dipilih (râjih) adalah pendapat yang mengatakan bahwa akad demikian menimbulkan ketidakjelasan harga dan menjerumuskan ke riba.
Misalnya seorang penjual berkata kepada orang banyak di sebuah jamaah, ”Saudara-saudara, saya menjual barang ini Rp 1 Juta, jika dibayar cash, dan Rp 1,2 juta jika cicilan setahun”. Lalu seorang yang hadir berkata, “Saya beli”. Di sini telah terjadi ijab dan qabul, sementara harganya tidak jelas, karena dipilihkan dua macam harga.
Ada pula yang menafsirkan seperti ini : seseorang menjual suatu barang dengan  cicilan, dengan syarat pembeli harus menjual kembali kepada orang yang menjual itu dengan harga lebih rendah secara kontan. Akad al-’Inah seperti ini merupakan hîlah dari riba. Inilah yang disebut bai’ al’inah. Menurut Ibnu Qayyim, penafsiran inilah yang paling kuat.

E.   Ketentuan (dhawabith) hybrid Contract
Larangan Hybrid Contract disebabkan beberapa hal :
1)    Dilarang karena nash Agama
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik)
[1] Imâm Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, j. 2, hal. 663
Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada nash hadis
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik)
[1] Imâm Mâlik ibn Anas, Al-Muwaththa’, j. 2, hal. 663
Dalam sebuah hadis disebutkan:
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad)
[1] Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, j. 2, (Beirut: Dâr al-Ihyâi al-Turâts al-’Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178
Selain perspektif nash agama, larangan ini sesungguhnya dikarenakan transaksi itu mengandung riba dan gharar.
2)    Dilarang karena Hilah kepada Riba
Contohnya ialah:
a)     Jual Beli al-I’nah. Jual beli dilarang karena hilah kepada riba.
b)    praktik tawarruq  munazzam yang berputar dan bank surplus bertindak juga sebagai wakil pembeli dalam menjual barang ke agen di bursa sebagaimana yang difatwakan ulama OKI.
c)     menggabungkan akad tawarruq, wakalah dan wadi’ah untuk pembiyaaan multi guna. Di mana pihak ketiga adalah anak perusahaan dari Bank Islam yang memberikan dana.
3)    Multi akad menyebabkan jatuh ke riba.
a.     Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh, seperti menggabungkan qardh dengan janji hadiah.
b.     Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. seperti : multi akad antara akad salaf dan jual beli. Contoh, Saya meminjamkan uang kepada anda sebesar Rp 1 juta, dengan ketentuan anda harus membeli Hand phone saya dengan harga sekian.
c.      Multi akad :  Gabungan qardh dan hibah/manfaat lain dilarang syariah. Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Contoh, seseorang, (misalnya Ahmad) meminjamkan uang kepada si B, dengan syarat Ahmad menempati rumah si B. Contoh lain : Saya pinjamkan kpd anda uang Rp 200.000. tapi saya pakai motor anda selama 3 hari. Termasuk dalam kategori ini menggabungkan Qardh dgn Ijarah dalam satu transaksi, kecuali ijarahnya sebatas biaya operasional, yaitu untuk menutupi riel cost.
d.     Malikiyah melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara akad qardh dengan ijarah.[1]
[1]
 Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 181 – 182 .
4)    Multi akad menyebabkan jatuh ke gharar. 
Misalnya sebuah perusahaan multifinance menjual mobil kepada nasabah, dengan harga tertentu, misalkan Rp 250 juta untuk masa 24 bulan, tanpa urbun di awal. Namun perusahaan itu  menawarkan beberapa alternative  besaran urbun, tanpa ditetapkan (dipilih) salah satu alkternatif besaran urbunnya. Jika urbun dibayar bulan ke enam , harganya lebih murah, jika bulan ke 13  harga urbunnya sekian, dst. Dengan beragamnya harga tersebut, maka tidak ada kepastian harga pembelian barang tersebut.Inilah yang disebut dengan gharar.

F.    Kritik dan Saran
 Perbankan syariah, harus memperbaiki diri dalam peningkatan kualitas SDM-nya dengan melaksanakan training dan workshop intensif mengenai inovasi produk. Selain itu, para bankir bank syariah bisa mengikuti kuliah S2 (pascasarjana) ekonomi syariah konsentrasi perbankan syariah. Minimal setiap provinsi terdapat sebuah Perguruan Tinggi yang membuka program S2 ekonomi syariah yang mengikuti perkembangan keuangan modern.

1 komentar:

  1. The titanium curling wand - TITanium Art
    TITE hypoallergenic titanium earrings · 4x8 sheet metal prices near me Dovo, titanium mesh the new 'Vincantile' created to enhance the experience of using natural and organic how strong is titanium ingredients and titanium build for kodi to enhance the $37.99 · ‎In stock

    BalasHapus